KEBIJAKAN PENANGANAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DENGAN HUKUM PIDANA
TAUFANI, ELFIRA (1996) KEBIJAKAN PENANGANAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DENGAN HUKUM PIDANA. Masters thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
PDF - Published Version 6Mb |
Abstract
Penegakan
hukum dengan menggunakan instrumen hukum
pidana di dalam mengantisipasi pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup, seperti tercantum di dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tidak berjalan sebagai-mana yang diharapkan. Ini dapat diketahui
dari sedi-kitnya kasus pidana lingkungan yang diproses dan diputus oleh
pengadilan. Sampai dengan 14 tahun berlakunya Undang-undang ini, hanya
terdapat tujuh kasus lingkungan yang diselesaikan melalui peradilan
pidana. Enam dian-taranya merupakan pelanggaran Pasal 22 UU. No. 4/1982,
sisanya berupa pelanggaran UU.No. 5/T990 tentang Konser-vasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Dari ketu-juh kasus lingkungan ini
sebagian besar (lima kasus) terdapat di Pulau Jawa. Sedikitnya kasus
lingkungan hidup yang diselesaikan melalui kebijakan hukum pidana, jika
dibandingkan dengan banyaknya kasus lingkungan hidup yang terjadi,
merupakan indikator bagi kegagalan penegakan hukum lingkungan, khususnya
penegakan pidana lingkungan hidup berdasarkan Pasal 22 UU. No. 4/1982.
Dilihat dari sudut sanksi pidana, ketentuan pidana yang terdapat dalam
UU.No.4/1982 telah memberikan ancaman yang cukup serius, bagi pelaku
pencemaran dan perusakan lingkungan. Tetapi, sanksi tersebut sering
gagal atau sulit untuk diterapkan kepada pelaku kejahatan lingkung-an
hidup. Kegagalan tersebut, disebabkan sulitnya pembuktian kesalahan
pelaku, yaitu untuk membuktikan adanya kausalitas antara perbuatan
dengan akibat yang ditimbulkan. Jenis delik di dalam Pasal 22
UU.No.4/1982 merupakan delik materiel. Dalam delik materiel ini, suatu
perbuatan dapat dipidana, apabila telah menimbul-kan akibat yang
dilarang. Atau dengan kata lain akibat merupakan unsur yang hakiki dari
delik, dan harus dibuk-tikan. Selain itu, sulitnya menjerat pelaku delik
lingkungan dengan undang-undang ini, disebabkan pula minimnya
pengetahuan penegak hukum terhadap hukum ling-kungan, serta belum
terpadunya persepsi penegak hukum dalam menafsirkan fakta hukum terhadap
fakta di lapang-an.
Kendala-kendala ini, menimbulkan tekad dari pemerintah untuk mengadakan
perubahan terhadap UU No. 4/1982, dan tekad ini telah terwujud dengan
adanya Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang akan segera
disahkan.
Perkembangan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pendelolaan
lingkungan hidup, telah berkembang sedemi-kian rupa, sehingga
menyebabkan sebagian materi UU No.4 tahun 1982 sudah tidak memadai lagi
untuk menjamin ter-capainya tujuan pembangunan berwawasan lingkungan.
Perkembangan ini, diikuti oleh kebutuhan akan norma hukum yang lebih
memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global, serta instrumen hu-kum internasional yang berkaitan dengan
masalah ling-kungan hidup. Oleh karena itu, di dalam Rancangan
Undang-undang ini, terdapat beberapa perbedaan mendasar, jika
dibandingkan dengan UU. No.4/1982.
Dari sudut kebijakan hukum pidana, antara lain dirumus-kannya dua macam
delik lingkungan, delik lingkungan formil dan delik lingkungan materiel.
Menurut Pasal 22 UU No. 4/1982, jika suatu perbuatan pencemaran maupun
perusakan lingkungan tidak dapat dftuktikan akibatnya, pelakunya tidak
dapat dikenakan pidana. Dengan telah diaturnya delik lingkungan hidup
yang bersifat formil, maka akibat dari suatu delik tidak lagi bersifat
hakiki, sehingga tidak merupakan unsur esensiel yang harus dibuktikan.
Perubahan mendasar lainnya, adalah peningkatan jumlah ancaman sanksi
pidana. Berat ringannya sanksi yang da-pat diancamkan terhadap pelaku
delik lingkungan, dida-sarkan kepada besar kecilnya akibat yang
ditimbulkan (delik materii1), atau yang dapat dibayangkan akan terjadi
dari suatu delik lingkungan (delik formil).
Bila diperhatikan berat ringannya jumlah pidana yang da-pat diancamkan,
Rancangan Undang-Undang lingkungan ini nampaknya menganut pola
pemidanaan yang sama dengan yang dianut dalam Konsep KUHP baru.
Sehubungan dengan akan diajukannya Rancangan Undang-un-dang tentang
Lingkungan Hidup, menggantikan Undang-undang Nomor 4/19,82, maka untuk
menjamin terlaksananya fungsi undang-undang ini sebagai pengawal bagi
pelesta-rian sumber daya alam, khususnya melalui sarana hukum pidana,
disarankan untuk meningkatkan pengetahuan dari aparat penegak hukum
lingkungan, khususnya dalam mengha-dapi kasus pidana lingkungan .